Senin, 28 Desember 2009

Refleksi Tahun Baru Hijriah 1431



Tanpa terasa, hari ini adalah momentum bersejarah yang pernah dilalui Rasulullah dan para sahabatnya 1431 tahun yang lalu. Itulah peristiwa hijrah yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam di awal-awal pertumbuhannya; sebuah eksodus besar-besaran yang menuntut pengorbanan dan perjuangan yang sangat berat. Para sahabat Muhajirin rela meninggalkan tanah kelahiran, harta benda dan segala yang dicintainya, bukan karena diusir kaum Kuffar Mekkah, melainkan karena perintah Allah swt. Begitulah sejarah telah mencatat, betapa ikhtiar baik yang dilandasi oleh dimensi keikhlasan dan kepasrahan total akan selalu dikenang dan tak lekang oleh zaman. Apa yang dialakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya adalah ekspresi keagamaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, pertimbangan menuju perubahan yang dicita-citakan. Ia menyimpan banyak pelajaran yang harus dipetik, direnungkan, lalu diaplikasikan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Ya, pemaknaan tahun baru hijriah sejatinya bukan hanya sekedar diperingati dengan ritus-ritus formal yang kering makna, bukan sekedar perhelatan kata-kata yang dirangkai untuk kemudian dikrimkan melalui SMS atau kartu-kartu ucapan lainnya, apalagi hanya dengan meliburkan lembaga-lembaga pendidikan tanpa menyuguhklan nilai transformatif dan ikhtiar harapan menuju kematangan-kematangan yang menjanjikan. Sederhananya, tahun baru hijriah adalah momentum paling absah untuk mengingatkan kita arti sebuah perubahan, lalu menggerakkan nalar kreatif-inovatif menuju pencerahan-pencerahan di seluruh sektor kehidupan. Dalam konteks keindonesiaan, nilai etis makna hijrah harus tersublimasi dalam benak kesadaran masyarakat, sehingga yang terjadi adalah dinamika positif yang mampu membangun bangsa ini bukan malah memperebutkan kekuasaan artifisial dan sibuk mengurusi pertengkaran yang tak kunjung usai. Dari keburukan menuju kebaikan, dari keterpurukan menuju kematangan, dari percekcokan menuju kedamaian, dari perpecahan menuju kesatuan, dari korupsi menuju penyucian diri dan dari kefanaan menuju keabadian... Riwayat Perjalanan dan Makna Kepemilikan Baru kemarin rasanya saya menulis tentang Menyelami Dimensi Tahun Baru Hijriah di blog sejenak kemudian ini, yakni tepat tanggal 29 Desember 2008. Ternyata sudah hampir setahun, dan saya merasa terbangun dari buaian mimpi panjang. Waktu terasa begitu cepat, sementara untuk amal kebajikan terasa begitu lambat. Ada banyak riwayat yang dulu setia menemani perjalanan kita, tapi sekarang telah meninggalkan kita tanpa mampu dicegah. Ada cerita suka-duka yang tercatat di lembar memory, di kedalaman hati. Ya, banyak rajutan kenangan yang jauh meningglkan kita. Saya jadi berpikir kembali tentang arti kepemilikan. Ah, betapa kita seringkali mengklaim bahwa memiliki anak, harta, jabatan, ilmu, teman dan entah apa lagi. Kita, tanpa disadari seolah merasa menguasainya. Kesemuanya itu miliki kita. Padahal, benarkah kita mampu mengendalikan, memerintah, dan menguasai terhadap klaim-klaim tadi? Kita menyimpan uang di Bank, maka sesunggunya kita tidak lagi memiliki sepenuhnya uang itu. Boleh saja kita mengaku memilikinya, tapi sesungguhnya kendali posisi uang tidak berada di tangan kita. Bagaimana dengan anak-anak? Semakin mereka tumbuh besar, pengetahuan dan penguasaan orang tua terhadap mereka semakin kecil dan menipis, terlebih apabila ketika tingkat pendidikan dan kekayaan sang anak melampaui orang tuanya. Itulah barangkali yang serng kita jumpai dalam hiruk-pikuk keluarga artis dan dunia intertainment. Manakala anaknya sudah mulai naik daun dan sudah populer, banyak duit, jadi selebritis, maka tiba-tiba sang orang tua tidak lagi memiliki keberanian dan kekuatan untuk menasehati dan mencegah ketika anaknya memasuki gaya hidup glamor dan bebas, hidup yang sesungguhnya sangat berseberangan dengan kehendak dan nilai-nilai luhur yang sejak kecil telah ditanamkan orang tuanya. Begitu pula dengan jabatan, yang tak lebih hanyalah pakaian sementara dengan durasi yang sangat singkat. Hanya sepanjang berlakunya SK. Bahkan hanya dalam jam-jam kantor saja. Di luar itu, segala berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan tuntutan. Sangat flktuatif. Kadang menjadi pasien jika sakit, menjadi suami-istri jika menikah, menjadi narapidana jika ketangkap basah karena korupsi. Tapi benarkah kita benar-benar memiliki? Barangkali, momentum tahun baru hijriah ini mampu membuka kesadaran kita bahwa yang konstan dan tak pernah berjalan surut adalah bertambahnya usia. Entah itu orang kaya atau miskin, pintar atau dungu, penguasa atau rakyat jelata, orang baik atau jahat, usia seseorang terus berjalan sampai titik batas akhir umurnya, lalu dipangkas dengan kematian. Lalu, apa sesungguhnya yang permanen dan abadi dimiliki seseorang? Barangali bukan sesuatu yang berlebihan jika Emha Ainun Nadjib pernah mengatakan, bahwa segala sesuatu yang melekat di tubuh kita adalah hak pakai, bukan hak milik. Maka berbahagilah mereka yang selalu sadar bahwa semua ini pinjaman, hadiah-anugerah, dan amanah untuk disyukuri dan difungsikan untuk memperbanyak amal kebajkan. Ketika suatu saat diambil kembali oleh Sang Pemiliknya, mereka merasa lega dan bersyukur karena telah memanfaatkan dengan sebaik mungkin dan beban amanahnya sudah dikurangi atau ditarik kembali oleh Si Empunya. Begitu apa yang dituturkan oleh Komaruddin Hidayat dalam bukunya Berdamai dengan Kematian; Menjemput Ajal dengan Optimisme. Akhirnya, saya ucapkan selamat tahun baru Hijriah 1431. Semoga menjadi momentum yang mampu merubah diri kita menuju pencerahan dan kebaikan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
5. simpan coba ceks hasilnya semoga sobat berhasil